Rabu, 12 September 2012

Merenungi Peran Pemerintah dalam Eksistensi TBM

Eksistensi TBM (Taman Bacaan Masyarakat) di kota Yogyakarta secara jumlah cukup banyak jumlahnya. Kota Yogyakarta memiliki lebih dari 180 TBM. Jumlah ini masih jauh dari jumlah yang dicita-citakan pemerintah, dimana idealnya tiap RW memiliki masing-masing TBM. Berkaca dari pengalaman saya dalam mengelola TBM dan bergaul dengan sesama pengurus TBM sekota Yogyakarta karena sejak tahun 2008-2011 saya juga menjadi TBM pendamping bagi beberapa TBM lainnya, saya punya beberapa pemikiran. Saran tersebut yaitu :

1.     Kualitas bukan kuantitas. Ide bahwa disetiap RW harus ada TBMnya hendaknya dilakukan dengan seksama. Hal ini karena tidak disemua RW ada relawan yang mau dan mampu mengelola TBM. Seorang relawan TBM adalah orang yang mau dan mampu menyumbangkan waktu, tenaga, serta materi (karena TBM nonprofit). Pilih orang-orang yang memang suka dan memiliki komitmen dalam mengurus dunia perbukuan bagi masyarakat. Dengan adanya komitmen, maka percaya deh, tanpa harus dioyak-oyak, yang namanya TBM bisa tetap jalan, mbuh gimana caranya, tergantung kreativitas masing-masing kelompok.
2.    Jangan samakan TBM dengan perpustakaan. Ketika TBM distandarkan dengan level perpustakaan, maka yang ada adalah kekecewaan. Hal tersebut bisa dimengerti, karena akar TBM dan perpustaan memang berbeda. Istilahnya, sama-sama mau ke roma, tapi kendaraannya lain, antara becak dan mobil. Sama-sama mau menyediakan sarana membaca buat masyarakat, tapi kalau disamakan ya jelas gak bisa donk. Ada baiknya jika pemerintah menyediakan parameter bagi TBM yang realistis dan tepat sasaran.
3.    Orangtua bagi TBM. Sewaktu memikirkan tentang pegawai pemerintah yang dapat menjadi ‘orangtua’ bagi TBM maka saya teringat akan sosok bapak Suyono. Bapak Suyono sebagai pegawai pemerintah yang khusus mengurusi tetek-bengek dan permasalahan TBM dapat dijadikan ‘pegangan’ dan penyemangat para pengelola masyarakat. Namun kini beliau telah pensiun. Dan memang ada penggantinya dalam mengasuh TBM, namun beliau bertugas tidak hanya mengurusi TBM saja. Beliau juga memiliki beberapa tugas lainnya di perpustakaan kota, sehingga tidak dapat fokus mengurus TBM.
4.     Anggaran. Diakui atau tidak, namanya kegiatan pasti butuh anggaran. Saya pikir, kenapa tbm enggak bisa seperti posyandu, PKK, PKBM dan lain-lain yang ada anggarannya untuk masing-masing wilayah? Toh sama-sama kegiatan sosial untuk kemasyarakatan. Selama ini yang terjadi, bantuan sosial yang disediakan kuotanya terbatas, sehingga yang tercover pun sedikit. Saran saya, jumlahnya tidak harus besar yang penting rutin. Dari hasil saya kasak-kusuk dengan sesama pengurus TBM di wilayah lain, biasanya mereka mengeluh kurangnya SDM karena gak ada daya tariknya (baca : gak ada duitnya). Ini beda dengan kegiatan kejar paket a b c, karena meskipun sedikit, sebagai guru kejar paket abc itu mereka dapat honor. Pengalaman saya jadi pendamping, sebagian besar pengurus TBM mengeluhkan ketiadaan anggaran ini.
5.    Upaya Menumbuhkembangkan Budaya Baca pada Masyarakat. Keinginan pemerintah agar masyarakatnya memiliki budaya membaca patut dipertahankan. Karena itu, TBM sebagai sarana membaca di tengah masyarakat hendaknya dipersenjatai dengan sarana dan prasarana memadai dalam mengajak masyarakat ke dalam budaya membaca.  Dan hendaknya pemerintah tidak kenal lelah dalam mengajak rakyatnya agar senang membaca, upaya ini mendapat dukungan dari keberadaan TBM di tengah masyarakat.
6.    Sekretariat  (Markas Besar).  FTBM sebagai organisasi hingga sekarang tidak punya markas resmi. Yang ada FTBM ‘nunut’ alamat sekretariat kepada perpustakaan kota Yogyakarta. Ketiadaan markas ini membuat FTBM menggantungkan diri kepada ‘kemurahan hati’ salah satu pengurusnya dalam menyediakan tempat untuk menggelar pertemuan atau rapat. Kegiatan kesekretariatan pun menggunakan fasilitas pribadi masing-masing pengurusnya (misal komputer, ruang pertemuan).  Ketiadaan kesekretariatan, anggaran yang terbatas (bukan mengecilkan artinya, namun jika dibandingkan dengan jumlah TBM yang harus diurusi), keterbatasaan SDM, kurang maksimalnya pendampingan dari pemerintah, dan lain-lain menjadikan FTBM belum dapat memberikan hasil kinerja yang terbaik.
Ini sekedar pendapat pribadi saya tentang keberadaan TBM ditengah masyarakat. Bukan kritik atau tuntutan, tapi sekedar hasil pengamatan di lapangan. Dimana sebagai pendamping, sangatlah melelahkan saat ditugasi mengoyak-oyak TBM yang mati untuk mengeksiskan diri kembali (Kadang membuat saya bertanya-tanya, kenapa mereka dulu mau membuat tbm), mendengarkan keluhan dari para ketua tbm tentang ‘anak buah’ nya yang menjadikan kerja sebagai alasan untuk mundur dari kegiatan mengelola tbm (saya sempat berandai-andai, kalau setiap kali menjaga TBM mendapatkan honor katakanlah Rp 5.000,- apakah TBM tetap bisa eksis gak ya?) dan seribu satu pertanyaan lain sewaktu melihat langsung kondisi di lapangan.
Hingga saat ini saya mengapresiasi upaya pemerintah dalam mendampingi TBM, diantaranya menyalurkan dana bantuan sosial, melakukan pendampingan, mendorong terbentuknya kelompok bagi TBM (FTBM kota Yogyakarta dan FTBM tingkat kecamatan). Selain itu pemerintah lewat perpustakaan telah menyalurkan bantuan buku kepada tbm-tbm binaannya, mengadakan lomba tbm, mengadakan pelatihan bagi TBM, dan lain-lainnya. Semua usaha yang telah dilakukan pemerintah dalam membina TBM-TBM patut dihargai. Semoga untuk ke depannya, antara pemerintah dan TBM-TBM dapat terjalin kerjasama yang baik demi satu tujuan, yaitu mewujudkan masyarakat yang memiliki budaya membaca. [arien]

Penulis : Arien Bianingrum. Tbmjovicyonline.blogspot.com


Kata kunci :