Eksistensi TBM
(Taman Bacaan Masyarakat) di kota Yogyakarta secara jumlah cukup banyak
jumlahnya. Kota Yogyakarta memiliki lebih dari 180 TBM. Jumlah ini masih jauh
dari jumlah yang dicita-citakan pemerintah, dimana idealnya tiap RW memiliki
masing-masing TBM. Berkaca dari pengalaman saya dalam mengelola TBM dan bergaul
dengan sesama pengurus TBM sekota Yogyakarta karena sejak tahun 2008-2011 saya
juga menjadi TBM pendamping bagi beberapa TBM lainnya, saya punya beberapa pemikiran. Saran tersebut yaitu :
1.
Kualitas
bukan kuantitas. Ide bahwa disetiap RW harus ada TBMnya hendaknya dilakukan
dengan seksama. Hal ini karena tidak disemua RW ada relawan yang mau dan mampu
mengelola TBM. Seorang relawan TBM adalah orang yang mau dan mampu
menyumbangkan waktu, tenaga, serta materi (karena TBM nonprofit). Pilih
orang-orang yang memang suka dan memiliki komitmen dalam mengurus dunia
perbukuan bagi masyarakat. Dengan adanya komitmen, maka percaya deh, tanpa
harus dioyak-oyak, yang namanya TBM bisa tetap jalan, mbuh gimana caranya, tergantung kreativitas masing-masing kelompok.
2.
Jangan samakan TBM dengan perpustakaan. Ketika
TBM distandarkan dengan level perpustakaan, maka yang ada adalah kekecewaan.
Hal tersebut bisa dimengerti, karena akar TBM dan perpustaan memang berbeda.
Istilahnya, sama-sama mau ke roma, tapi kendaraannya lain, antara becak dan
mobil. Sama-sama mau menyediakan sarana membaca buat masyarakat, tapi kalau
disamakan ya jelas gak bisa donk. Ada baiknya jika pemerintah menyediakan
parameter bagi TBM yang realistis dan tepat sasaran.
3.
Orangtua bagi TBM. Sewaktu memikirkan tentang
pegawai pemerintah yang dapat menjadi ‘orangtua’ bagi TBM maka saya teringat
akan sosok bapak Suyono. Bapak Suyono sebagai pegawai pemerintah yang khusus
mengurusi tetek-bengek dan permasalahan TBM dapat dijadikan ‘pegangan’ dan
penyemangat para pengelola masyarakat. Namun kini beliau telah pensiun. Dan
memang ada penggantinya dalam mengasuh TBM, namun beliau bertugas tidak hanya
mengurusi TBM saja. Beliau juga memiliki beberapa tugas lainnya di perpustakaan
kota, sehingga tidak dapat fokus mengurus TBM.
4.
Anggaran.
Diakui atau tidak, namanya kegiatan pasti butuh anggaran. Saya pikir, kenapa
tbm enggak bisa seperti posyandu, PKK, PKBM dan lain-lain yang ada anggarannya
untuk masing-masing wilayah? Toh sama-sama kegiatan sosial untuk
kemasyarakatan. Selama ini yang terjadi, bantuan sosial yang disediakan
kuotanya terbatas, sehingga yang tercover
pun sedikit. Saran saya, jumlahnya tidak harus besar yang penting rutin. Dari
hasil saya kasak-kusuk dengan sesama pengurus TBM di wilayah lain, biasanya
mereka mengeluh kurangnya SDM karena gak ada daya tariknya (baca : gak ada
duitnya). Ini beda dengan kegiatan kejar paket a b c, karena meskipun sedikit,
sebagai guru kejar paket abc itu mereka dapat honor. Pengalaman saya jadi
pendamping, sebagian besar pengurus TBM mengeluhkan ketiadaan anggaran ini.
5.
Upaya Menumbuhkembangkan Budaya Baca pada
Masyarakat. Keinginan pemerintah agar masyarakatnya memiliki budaya membaca
patut dipertahankan. Karena itu, TBM sebagai sarana membaca di tengah
masyarakat hendaknya dipersenjatai dengan sarana dan prasarana memadai dalam
mengajak masyarakat ke dalam budaya membaca.
Dan hendaknya pemerintah tidak kenal lelah dalam mengajak rakyatnya agar
senang membaca, upaya ini mendapat dukungan dari keberadaan TBM di tengah
masyarakat.
6.
Sekretariat
(Markas Besar). FTBM sebagai
organisasi hingga sekarang tidak punya markas resmi. Yang ada FTBM ‘nunut’
alamat sekretariat kepada perpustakaan kota Yogyakarta. Ketiadaan markas ini
membuat FTBM menggantungkan diri kepada ‘kemurahan hati’ salah satu pengurusnya
dalam menyediakan tempat untuk menggelar pertemuan atau rapat. Kegiatan
kesekretariatan pun menggunakan fasilitas pribadi masing-masing pengurusnya
(misal komputer, ruang pertemuan).
Ketiadaan kesekretariatan, anggaran yang terbatas (bukan mengecilkan
artinya, namun jika dibandingkan dengan jumlah TBM yang harus diurusi),
keterbatasaan SDM, kurang maksimalnya pendampingan dari pemerintah, dan
lain-lain menjadikan FTBM belum dapat memberikan hasil kinerja yang terbaik.
Ini sekedar
pendapat pribadi saya tentang keberadaan TBM ditengah masyarakat. Bukan kritik
atau tuntutan, tapi sekedar hasil pengamatan di lapangan. Dimana sebagai
pendamping, sangatlah melelahkan saat ditugasi mengoyak-oyak TBM yang mati
untuk mengeksiskan diri kembali (Kadang membuat saya bertanya-tanya, kenapa
mereka dulu mau membuat tbm), mendengarkan keluhan dari para ketua tbm tentang
‘anak buah’ nya yang menjadikan kerja sebagai alasan untuk mundur dari kegiatan
mengelola tbm (saya sempat berandai-andai, kalau setiap kali menjaga TBM
mendapatkan honor katakanlah Rp 5.000,- apakah TBM tetap bisa eksis gak ya?)
dan seribu satu pertanyaan lain sewaktu melihat langsung kondisi di lapangan.
Hingga saat
ini saya mengapresiasi upaya pemerintah dalam mendampingi TBM, diantaranya
menyalurkan dana bantuan sosial, melakukan pendampingan, mendorong terbentuknya
kelompok bagi TBM (FTBM kota Yogyakarta dan FTBM tingkat kecamatan). Selain itu
pemerintah lewat perpustakaan telah menyalurkan bantuan buku kepada tbm-tbm
binaannya, mengadakan lomba tbm, mengadakan pelatihan bagi TBM, dan
lain-lainnya. Semua usaha yang telah dilakukan pemerintah dalam membina TBM-TBM
patut dihargai. Semoga untuk ke depannya, antara pemerintah dan TBM-TBM dapat
terjalin kerjasama yang baik demi satu tujuan, yaitu mewujudkan masyarakat yang
memiliki budaya membaca. [arien]
Penulis : Arien Bianingrum.
Tbmjovicyonline.blogspot.com
Kata kunci :