Adakalanya TBM
ini banyak dikunjungi pengunjung, namun ada kalanya TBM ini sepi sunyi senyap.
Setelah saya memperhatikan dan memperhatikan siklusnya, maka saya jadi memiliki
beberapa tips dalam bagaimana mengelola, dan mengembangkan TBM. Saya adalah
pengelola TBM Jovicy. TBM ini berdiri sejak 2005. Jujur saja, awalnya TBM ini
adalah ‘sebuah kebetulan’ semata. Karena kebetulan keluarga saya suka membaca +
membeli buku (terutama jika sedang diskon dan pameran buku), maka otomatis koleksi
buku di rumah kami banyak. Di tambah buku-buku tua warisan simbah, jadinya
buanyaaak.
Di rumah ada
usaha persewaan mobil, jadi orang sering datang ke rumah. Tetangga kanan-kiri
pun terkadang suka main ke rumah kami. Orang-orang pun jadi tahu kalau rumah
kami adalah ‘gudang’ buku. Mulailah satu dua orang mulai meminjam buku.
Lama-kelamaan kami pun digosipkan oleh para teman dan tetangga, kalau mau
pinjam buku mereka menunjuk rumah kami.
Yah, berhubung buku tidak akan berkurang jika dibaca satu orang atau
seratus orang, maka kami pun mengijinkan orang-orang meminjam buku kami. Untuk
beberapa buku-buku yang disayangi, maka di simpan saja dalam kamar, tidak
dipinjamkan. Selebihnya disimpan di rak di ruang tamu. Tahun 2007, pegawai
kelurahan patehan ‘mengendus’ prihal pinjam-meminjam buku di rumah kami. Mereka
mendaftarkan perpustakaan di rumah kami dalam kategori TBM untuk dibina oleh
perpustakaan kota Yogyakarta. Dibimbing tentu saja kami senang, diberi label
TBM pun kami ikut saja. Toh, bagi kami gak ada bedanya nama kami TBM,
perpustakaan desa, perpustakaan pribadi, gudang buku atau lainnya. Disuruh
memberi nama, kami mencomot nama jovicy, jadilah nama kami TBM Jovicy.
Selama dibina
oleh perpustakaan kota tersebut, kami dibekali macam-macam, yaitu keterampilan
dan sejumlah dana yang tidak terlalu besar jumlahnya (dibandingkan harga buku) untuk
membeli koleksi pustaka bagi TBM. Yang sedikit kurang sreg dari peraturan
perpustakaan adalah, bahwa kami dianjurkan untuk mengatur dan memperlakukan
buku layaknya di perpustakaan. Di sampul plastic saya setuju, tapi ketika akan
dilabeli dan dicap saya mendapat reaksi penolakan dari orang-orang serumah.
Mereka ngomel, karena buku yang dibeli
sendiri kok ya ribet dicap-capin dan dilabeli segala. Adik saya malah mengultimatum,
kalau harus dicap dan dilabeli, mending bukunya gak usah dipinjamkan. Kruk, kruk, bingung juga saya waktu itu.
Tapi setelah dipikir-pikir, iya ya. Buku punya kami, dibeli sendiri pakai uang
pribadi, maka terserah juga kami mau apain. Paling, kalau buku yang didapat
dari bantuan perpustakaan kota baru disampul, dilabel dan dicap.
Mengurus TBM
pun sesuka kami. Dalam artian, kalau ada waktu ya kami ribut ngajak orang-orang
untuk baca-baca buku. Kalau kami sedang sibuk, maka kami pasif saja menunggu
orang yang datang sendiri ke rumah buat pinjam buku. Bagi kami menggurus TBM
itu karena hobi plus pengabdian
masyarakat. Nggak ngoyo dan nggak fokus juga. Sing penting urip terus. Gak peduli yang pinjam orang banyak
sedikit, atau TBM kami cuma beken di antara teman, relasi bisnis atau tetangga
saja. Tapi kalau lagi ada waktu, ibu saya menyempatkan diri membawa kotak besar
berisi buku-buku buat dibawa ke pertemuan PKK sekelurahan, arisan, posyandu
atau acara-acara kumpul ibu-ibu lainnya. Di pertemuan para bapak, bapak saya
mempersilahkan bapak-bapak lainnya untuk meminjam buku bacaan di tempat kami.
Adik-adik sering juga membawakan buku yang dipesan teman-temannya ke kampus
atau teman-temannya yang datang buat minjam buku. Saya kadang buat selebaran
buat datang ke TBM trus ditempel di pinggir jalan, tiang listrik. Woro-woro
juga ke tpa dan tempat les sempoa anak-anak di samping rumah ngajak minjem buku
ke TBM kami. Kadang kalau lagi liburan dan ada waktu, kami buat les ngambar,
lomba mewarnai, sepeda santai atau sekedar nonton film bareng yang diadakan di
TBM kami. Para relasi bisnis yang datang ke rumah, juga dipersilahkan
mbaca-baca atau minjam buku. Pendeknya, kegiatan TBM di lakukan dalam kegiatn
sehari-hari dan sak kobere (sesempatnya).
Pernah, kami
para pengurus rundingan, kami sadar diri jika kami mengurus TBM nya gak
professional layaknya pegawai perpustakaan yang gajian dan tidak memenuhi
standar yang diharapkan pemerintah dari sebuah TBM. Meskipun kami memang beda
dengan para pegawai perpustakaan, karena yang namanya ngurus TBM itu gak ada
gajinya, merupakan tugas pengabdian terhadap masyarakat, dan malah nombok baik materi maupun tenaga. Kami menawarkan
kepada pak RW untuk mengelola TBM dibalai RW. Maksud kami biar lebih bagus begitu
pengelolaannya. Tapi Pak RW menolak, karena gak ada tempat dan juga gak ada
orang yang bisa mengurus. Lah, terus piye? Akhirnya kami ngurus TBM ya saktekane wae.
Berkaca pada
pengalaman pribadi, maka saya memiliki pendapat agar sebuah TBM dapat eksis
dibutuhkan beberapa hal, antara lain :
1.
Pengurus yang Berkomitmen. Komitmen akan membuat
orang melakukan tugasnya dengan bersungguh-sungguh. Komitmen itu pula yang
membuat orang mau menyisihkan waktunya untuk mengurus TBM dan masyarakat
penggunanya.
2.
Toleransi. Sebagai pengurus TBM, harus mampu
mentoleransi hal-hal yang berhubungan dengan keberadaan TBM dan penggunanya.
Misalnya; jika anak-anak kecil sebagai penggunanya ramai berteriak-teriak di
perpustakaan hendaknya tidak dimarahi melainkan dapat diberitahu pelan-pelan.
3.
Proaktif. Sebagai pengurus TBM, kita harus
proaktif dalam mengajak masyarakat agar mau membaca. Secara berkala, kita harus
melakukan kegiatan promosi untuk mengajak masyarakat datang ke TBM. Kegiatan
promosi tersebut antara lain; memasang selebaran mengenai fasilitas tbm di
dekat rumah-rumah penduduk, membuat lomba mewarnai dan menggambar, mengadakan
acara nonton film bersama di TBM, dan lain-lain.
4.
Service Excellent. Meskipun TBM adalah lembaga
nonprofit, bukan berarti layanan yang diberikan kepada masyarakat pun asal-asalan.
Sebagai pengelola TBM kita harus mampu memberikan pelayanan kepada masyarakat
dalam menggunakan fasilitas TBM. Misalnya: ada pengguna yang tidak dapat
menemukan buku yang dibutuhkannya, maka jika ada fasilitas internet kita dapat
membantu mencarikan artikel yang dibutuhkannya di internet, menyambut pengguna
perpustakaan dengan ramah, membantu pengguna menemukan bahan pustaka yang
dibutuhkannya, dan lain-lain.
5.
Memiliki Sumber Pendanaan. Tidak dapat
dipungkiri, bahwa pelayanan TBM membutuhkan biaya. Untuk itu, ada baiknya bila
TBM memiliki sumber pendanaan tetap. Dengan demikian, maka keberlangsungan TBM
dapat lebih terjamin. Sumber pendanaan tersebut dapat dicari dengan jalan
antara lain : mencari donator tetap, memasang kotak sumbangan di tbm, mengadakan
kegiatan ekonomi (misal : berjualan) di TBM, dan lain-lain. [arien]
Penulis : Arien Bianingrum. Tbmjovicyonline.blogspot.com